PILPRES (TAK) SENSUS


Oleh: Moh Halil



Pilpres tinggal menghitung bulan, kandidat presiden dan wakil presiden Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi telah melancarkan berbagai strateginya untuk mengambil hati para konstituen. Dan separuh perjalanan kampanye politik telah dilalui bersama, namun belum menyentuh hal-hal yang substansial. Perdebatan yang disuguhkan kedua kubu masih terjebak pada kosakata-kosakata bombastis, narasi-narasi yang dangkal dan bahkan hanya memperebutkan klaim-klaim seperti paling agamis maupun paling nasionalis. Perdebatan-perdebatan suputar itulah lebih ditonjolkan daripada berbicara visi-misi dan program kerja.


Di tengah kampanye politik yang kurang substansial, ada hal menarik yang menjadi referensi seseorang ikut kecenderungan mayoritas ke mana arah mata angin bergerak biar dianggap paling nasionalis dan seterusnya . Gambaran perilaku pemilih seperti ini dapat disebut pilpres sensus. Sebagaimana dijelaskan Irving Louis Horowitz dalam buku The Politics of Mass Society dengan konsep expressive voting hypothesis. Pilpres sensus dapat dikatakan bahwa para pemilih menggunakan hak memilihnya untuk mengekspresikan identitas mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnis. Dengan demikian konstituen memilih calon presiden bukan berdasarkan ketertarikan pada visi-misi ataupun program kerja, melainkan karena identitas tertentu.


Misalnya Jawa Tengah yang diklaim sebagai basis partai merah. Masyarakat yang tidak berafiliasi kepada partai manapun, pilihan politiknya berkecenderungan pada partai merah. Yakni karena dipengaruhi oleh persepsi mayoritas. Hal tersebut merupakan fenomena baru, masyarakat memiliki kencederungan tidak ingin berbeda dengan pilihan mayoritas. Dan jika ditarik lebih jauh pilpres sensus sangat erat kaitannya dengan politik identitas. Sebab ikatan-ikatan yang berbasis kekerabatan dan keluarga, bahasa dan dialek, adat kesukuan dan komunitas lokal, dan kepercayaan-kepercayaan agama yang dimiliki bersama merupakan identitas yang melekat pada diri individu.

Menjadi tidak mengherankan ketika penggunaan politik identitas masih santer digunakan dalam percaturan politik akhir-akhir ini. Selain sebagai basis alternatif bagi mobilisasi politik, juga dapat dikatakan sangat murah ongkosnya jika dikaitkan dengan finansial. Sampai di sini dapat dimengerti mengapa setiap kubu berebut dukungan tokoh tertentu, dimana akan mengaktifkan psikologi identitas tersebut. Walaupun demikian politik identitas bukanlah barang haram sebagai referensi politik seseorang.

Kanal Politik Identitas

Politik identitas tidak seterusnya karena alasan hanya bertujuan mengekspresikan identitas seseorang. Namun ada tiga asumsi yang dapat menjelaskan hal ini menurut John T. Ishiyama dan Marijke Breuning dalam bukunya 21st Century Political Science: A Reference Handbook. pertama adanya patronase, kedua sharing pemilih, dan ketiga mempertegas ekspresi individu.

Pendekatan pertama dapat dijelaskan dengan cara menempatkan negara dalam perihal menopoli akses terhadap pekerjaan dan sumberdaya lainnya. Dengan demikian para pemilih akan mempertegas pilihannya pada kubu yang memiliki identitas yang paling dekat dengan dirinya. Sembari megharapkan bahwa ketika sang kadidat terpilih maka akan berdampak pada adanya perlindungan pada yang bersangkutan. Baik pada pemenuhan lapangan kerja maupun pada isu-isu keadilan. Kanal ini menjadi relefan ketika suatu daerah atau pun golongan tertentu mengalami ketimpangan ekonomi dan sebagainya.

Kedua, terdapat dua peristiwa dalam kurun waktu bersamaan: yakni sharing pemilih dan evaluasi pemilih pada kinerja pemerintah. Pada pendekatan ini evaluasi kinerja pemerintah menjadi fokus utamanya. Sedangkan identitas digunakan untuk berbagi perihal preferensi kebijakan pemerintah yang langsung menyentuh pada kehidupan mereka sehari-hari. Sehingga mendorong mereka untuk memutuskan memilih calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang sama. Saluran identitas individu tersebut menekankan pada adanya interaksi yang begitu intens sehingga membentuk persepsi yang sama.

Ketiga, individu memilih kandidat tertentu sesuai dengan dukungan maupun kecenderungan komunitas dimana dia berada. Kanal ketiga ini dapat dipahami bahwa kesamaan pilihan seseorang disebabkan adanya penegesan psikologi dari identitas tertentu. Sehingga ketika mereka memilih calon tertentu timbul perasaan seolah-olah merasa menjadi bagian dari kelompok tersebut. Semisal ketika konsitutuen memilih atau mendukug salah satu capres, maka ia merasa seorang toleran, paling agamis, dukungan atas keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan seterusnya.

Menunggu Debat Capres-Cawapres

Kecenderungan menguatnya penggunaan politik identitas pada pemilu kali ini tentu tidak lahir dari ruang hampa semata. Walaupun bukan barang yang dilarang, Tetap saja tidak menyentuh hal yang diprioritaskan dalam mengurai berbagai problem yang dihadapi negara. Semisal pemerataan pendidikan, carut-marut kemiskinan dan kesejateraa rakyat secara umum. Setidaknya terdapat dua hal yang dapat dijelaska: lemahnya Identification Party (party-ID) dan program kerja capres-cawapres.

Party-ID merupakan derajat kedekatan warga dengan partai yang diyakini menjadi pilihannya sewaktu pemilu diselenggarakan. Kelemahan ini menjadi salah satu persoalan yang sejak lama mejadi perhatian para akademisi, peneliti maupun pegiat demokrasi. Sebab berdampak pada referensi pilihan rakyat yang hanya melihat pada sosok kandidat semata. Sebut saja yang mencul kepermukaan akhir-akhir ini yakni perdebatan tentang sosok pemimpin yang merakyat, tegas dan tokoh siapa yang mendukung dibelakangnya.

Di sisi lain, suka atau tidak suka. Kandidat presiden dan wakilnya diajukan atau diusung oleh berbagai partai politik. Koalisi partai tersebut sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan kelak ketika yang bersangkutan terpilih. Setiap partai pengusung memiliki agenda tersendiri sesuai dengan ideologi yang diyakini. Dapat pula gambaran lemahnya kedekatan warga dengan partai politik, menandakan matinya ideology partai. Tentu tidak demikian mengingat partai politik masih memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi.

Pun demikian dengan gagasan besar yang ditawarkan oleh capres-cawapres. Politik identitas yang seperti gayung bersambut, juga diakibatkan oleh lemahnya sosialisasi visi-misi maupun program kerja. Jika perdebatan sejak awal dibukanya kampanye politik yang disuguhkan prioritas program kerja lima tahunan, tentu rakyat akan semakin mengerti gagasan besar apa saja yang kelak akan direalisasikan. Atau para tim sukses (timses) memiliki perasaan kurang percaya bahwa program kerja yang ditawarkan tidak dapat mendongkrak perolehan suara. Sehigga pilihannya adalah mengoyak-ngoyak psikologi pemilih lewat politik identitas.

Tentu sebagian elit politik dan timses masing-masing kandidat akan berdalih. Program kerja akan dikupas tuntas pada saat debat yang sudah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Sehingga untuk tidak memperkeruh keadaan, penting sekiranya tidak mengutuk kegelapan sembari menyalakan lilin, atau biarkanlah perdebatan yang sudah lewat sebagai bahan evaluasi saja. Dan mari menunggu debat capres-cawapres antara petahana dan penantangnya dalam waktu dekat ini. Dengan catatan disuguhi visi-misi maupun program kerja yang membuat rakyat bergairah untuk datang ke tempat pemilihan suara (TPS).




Komentar

Postingan Populer